Sukses

Sigi Investigasi: Berburu Sapi yang Hilang di Pasaran

Lapak-lapak yang biasa memajang daging-daging segar, serentak menghentikan aktivitas penjualan.

Liputan6.com, Jakarta - Kosong tanpa aktivitas. Ini yang mewarnai pemberitaan di berbagai media kita akhir-akhir ini. Lapak-lapak yang biasa memajang daging-daging segar, serentak menghentikan aktivitas penjualan daging segar di beberapa pasar se-Jabotabek.

Instruksinya jelas. Surat edaran mogok berjualan dari asosiasi pedagang sapi se-Jabotabek yang jadi acuan.

Aksi mogok ini merupakan buntut dari munculnya kebijakan mantan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang menurunkan kuota impor daging sapi di angka 50 ribu ekor dari semula 250 ribu ekor.

Entah karena kuota impor sapi turun drastis atau hal lain, harga daging sapi melambung naik hingga menembus angka Rp 125 ribu per kg. Mulai dari pedagang hingga konsumen teriak habis-habisan menolak harga yang dianggap sudah melampaui batas.

Pada akhirnya indikasi adanya permainan harga dan stok daging sapi di pasaran mulai terbuka. Bahkan beberapa hari yang lalu, aparat kepolisian menggerebek sebuah perusahaan penggemukan sapi yang diduga melakukan penimbunan sapi siap potong di wilayah Cileungsi, Bogor.

Dari pemeriksaan aparat menemukan ada sekitar 2500 sapi yang masih tertahan di kandang.

Sementara di daerah Tangerang, Banten aparat juga menggerebek PT Tanjung Unggul Mandiri. Dari sini polisi menemukan tak kurang 4000 ekor sapi siap potong masih di tahan-tahan.

Persoalan kelangkaan pasokan daging sapi sebenarnya bukan perkara baru di Indonesia. Apalagi di Ibukota yang memang menjadi pusat konsumsi terbesar dari daging sapi khususnya daging sapi impor ini.

Kisruh langka daging sapi perlahan menjalar ke provinsi lainnya seperti Jawa Barat dan Jawa Timur. Daging sapi impor ikut menjadi kebutuhan yang cukup krusial di 2 provinsi ini.

Namun cukup aneh jika akibat daging sapi impor yang langka, lantas berimbas pada pedagang pasar dan konsumen kelas bawah yang sebenarnya lebih banyak menggunakan bahan baku sapi lokal.

Konsumsi Daging Sapi

Kebutuhan akan daging sapi segar skala nasional di Indonesia memang tergolong besar.

Data Kementerian Pertanian tahun 2015 mencatat, masyarakat Indonesia mengonsumsi daging sapi sebanyak 2 juta 27 ribu ekor atau setara dengan 377 ribu ton daging sapi selama setahun.

Konsumsi daging sapi terbanyak tersentral di pulau Jawa. Di antaranya DKI Jakarta dengan mengonsumsi 336 ribu ekor, Jawa Barat 516 ribu, Jawa Tengah 355 ribu.

Ini ternyata menimbulkan permasalahan baru. Kantong-kantong produksi penyedia daging sapi lokal tak mampu berbuat banyak.

Sebaran sapi-sapi lokal yang tersedia di beberapa provinsi pemasok utama hanya mampu menyumbang kurang lebih 940 ribu ekor per tahunnya. Jauh di bawah rata-rata kebutuhan konsumsi per tahun yang mencapai 2 juta ekor.

Dari data ini mulai tergambar bahwa Indonesia belum bisa swasembada daging sapi.

Sapi Lokal Vs Sapi Impor

Urusan impor sapi dari negara tetangga sebenarnya sudah berlangsung cukup lama.

Kenyataan ini memang membuka celah bagi para pebisnis penggemukan sapi impor di Indonesia. Namun belakangan, para pengusaha sapi impor atau feedloter justru mulai mengatur pasar, bahkan mengancam kestabilan harga daging di pasaran.

Dari pernyataan ini, terbaca bahwa pihak feedloter punya peran strategis dalam permainan harga pasar. Tapi pemerintah kini punya strategi tandingan agar harga pasar bisa kembali normal.

Masuknya sapi-sapi impor yang sebagian besar dipegang swasta, ibarat pisau bermata 2. Satu sisi peran swasta bisa membantu memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri, namun di lain sisi para importir dianggap jadi ancaman yang mematikan bagi para peternak lokal. Belum lagi masalah kualitas daging yang bersaing di pasaran.

Niat pemerintah yang semula akan menurunkan kuota impor sebanyak 50 ribu ekor di kwartal 4 membuka celah bagi sapi-sapi lokal untuk bertarung dengan sapi impor. Namun kebijakan ini berubah drastis akibat gejolak pasar.

Pemerintah pun berencana menambah kuota impor baru. Peternak lokal yang akhirnya menjerit dan terkena imbasnya.

Dalam hitungan ekonomi, langkah strategis yang dilakukan pemerintah ini memang dinilai tepat untuk mengamankan permintaan pasar dan menstabilkan harga jual dalam waktu dekat. Tapi jika meleset ada konsekuensinya.

Keputusan pemerintah menambah kuota impor hingga akhir tahun memang menjadi pro kontra di tengah upaya kemandirian dalam produksi daging dalam negeri.

Apakah benar kisruh harga daging sapi akibat penurunan kuota stok sapi impor dari pemerintah? Atau ada faktor lain yang memicunya? Saksikan selengkapnya dalam tayangan Sigi Investigasi SCTV, Minggu (23/8/2015), di bawah ini. (Nda/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.