Sukses

VIDEO: Kekuatan Kelompok Santoso Diyakini Tinggal 19 Orang

Untuk sementara jenazah Santoso masih diletakkan di Rumah Sakit Bhayangkara, Palu.

Liputan6.com, Jakarta - Satgas Operasi Tinombala terlibat kontak tembak dengan gerombolan Santoso pada Senin 18 Juli lalu. Dua tewas, salah satunya berciri rambut panjang, berjenggot, dan memiliki tahi lalat di dahi.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Malam SCTV, Kamis (21/7/2016), tiga orang disebut berhasil kabur. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen (Purn) Sutiyoso menyatakan, kemungkinan besar adalah Jumiatun Muslimayatun istri Santoso, Tini Susanti, istri Ali Kalora, dan Nurmi Usman, istri Basri, anggota kelompok Santoso.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius, tiba di Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, Rabu 20 Juli lalu, untuk mengecek langsung jenazah.

Kapolri pun memastikan salah satu jenazah adalah gembong teroris Poso, yang juga pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso. Saat ini diyakini kekuatan kelompok Santoso tinggal 19 orang.

Untuk sementara, jenazah Santoso masih diletakkan di Rumah Sakit Bhayangkara Palu.

Tak ada yang menduga, Santoso alias Abu Wardah, yang menghabiskan masa kecilnya di Tentena dan sempat tinggal serta menikah di Dusun Bakti Agung, Desa Tambarana Trans, Kecamatan Poso pesisir utara, Sulawesi Tengah menjelma menjadi teroris.

Santoso menghilang dari kampung 2 tahun setelah menikah di tahun 1998. Di tahun 2004, Santoso bersama 5 temannya dipenjara terkait kasus perampokan.

Selepas dari penjara, Santoso dan kelompoknya membangun basis pelatihan militer di Taman Jeka, Dusun Masani, Poso Pesisir. Dari lokasi inilah, Santoso mengendalikan serangkaian aksi teror di Poso, Sulawesi Tengah. Kelompok Santoso bersembunyi di pegunungan Biru, Poso.

Pengamat terorisme mengingatkan, tumpas tuntas para teroris dan paham terorisme hingga ke akarnya memang masih menemui sejumlah tantangan.

Menghilangkan paham terorisme dari kepala para teroris terkendala sejumlah masalah. Termasuk soal penjara yang terlalu penuh, ketidakmampuan petugas menangani terpidana kasus terorisme, dan kesulitan asimilasi atau berbaur kembali dengan masyarakat setelah keluar dari penjara, membuat terpidana kasus teroris rentan kembali beraksi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.