Sukses

Potret Menembus Batas: Berburu Air di Rongga Bumi

Telaga dan air terjun setinggi tiga meter di perut bumi, bagaikan oase di padang pasir.

Liputan6.com, Yogyakarta - Ini kisah tentang perjuangan pemenuhan kebutuhan hidup warga Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Warga yang mendamba kehadiran air di dekat rumah.

Tentang warga, pejuang air bersih, karena hidup di atas wilayah sebagian besar perbukitan kapur atau karst.

Seperti Tukiyat, petani di Desa Jepitu, Girisubo, mesti memanggul sepasang jeriken yang masing-masing berkapasitas 25 liter.

Rutinitas yang dijalani dua kali dalam sehari menempuh lebih dari enam kilometer pergi pulang dari sumber air ke ladang.

Buat Tukiyat dan sebagian besar warga di sini, ternak adalah tabungan berharga yang amat penting.

Tukiyat dan warga desa tak berpangku tangan. Bersama kelompok swadaya masyarakat, komunitas merangkul bumi atau kombi, Tukiyat menjaga optimisme, menanggulangi kekeringan yang datang hampir setiap tahun.

Pule Jajar, adalah zona para petualang bernyali besa. Memasukinya berarti siap dengan segala risiko. Gua yang mengusik perhatian para speleolog atau penggiat susur gua sejak sepuluh tahun silam.

Lazimnya lorong-lorong gelap di bawah perbukitan karst, gua ini menyimpan cadangan air baku melimpah.

Belajar dari para pecinta gua, Rubiyanto dan kawan-kawan mengukur debit air dengan peralatan sederhana.

Telaga dan air terjun setinggi tiga meter di perut bumi, bagaikan oase di padang pasir. Sebab dari sini air didapat, selama delapan tahun terakhir.

Hanya saja, baru tahun lalu air gua Pule Jajar dapat dialirkan ke luar gua.

Tanpa honor apalagi gaji, warga memelihara saluran air yang tertanam hampir satu setengah kilometer. Ini wajib dilakukan setiap enam bulan sekali.

Bermodal gravitasi dan beda ketinggian saluran masuk dan keluar, air sudah dapat ditampung di dekat ladang warga.

Rasulan, hajat tahunan masyarakat Girisubo, Gunung Kidul, berharap kemarau tak berlangsung lama, sedang hasil panen berlimpah. Warga percaya, hasil bumi dari gunungan bisa membawa berkah.

Memasuki musim kemarau, bak penampungan air hujan tak lagi penuh. Padahal kebutuhan air bersih untuk satu keluarga minimal 360 liter per hari.

Kesibukan Tukiyat bertambah, empat kilometer lebih harus ditempuh tiga kali sehari untuk memenuhi kebutuhan air dari mulut gua Kali Puring.

Tukiyat dan keluarga hanya ingin menekan anggaran biaya pemenuhan air bersih yang rata-rata Rp 200 ribu per bulan.

Meski belum pada kondisi kemarau berkepanjangan, warga Jepitu, Girisubo, harus berjuang demi air bersih. Dan hanya di lokasi tertentu, mata air muncul dari mulut gua.

Satu sumber air terdekat harus ditempuh, satu setengah kilometer dari pemukiman. Di sini, warga terpaksa bersaing dengan mesin sedot truk tangki.

Sebuah kendaraan menjadi andalan guna mengisi bak penampungan warga. Per tangki, kapasitas lima ribu liter, Wasirin mesti merogoh kocek Rp 100 ribu.

Sedang bak penampung air ini hanya sanggup memenuhi kebutuhan selama dua pekan.

Di pesisir selatan Gunung Kidul, warga tak berani bermimpi menembus batu gamping dan cadas guna membuat sumur. Sedang distribusi pipa perusahaan daerah air minum masih sangat terbatas.

Saksikan warga Gunung Kidul berburu air di perut bumi yang ditayangkan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (25/9/2016), di bawah ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.